Makalah PIK - Pembuatan Methanol dari Proses Gasifikasi Batubara
PEMBUATAN METHANOL DARI PROSES GASIFIKASI BATUBARA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia merupakan salah satu daerah penghasil tambang
batu bara terbesar di dunia. Salah satu daerah penghasil tambang terbesar di
Indonesia adalah Kalimantan Selatan. Pertumbuhan tambang di Kalimantan Selatan
sendiri semakin pesat karena semakin banyak lahan tambang baru yang ditemukan.
Kebanyakan bahan kimia dari batubara
pada mulanya diperoleh melalui proses distilasi destruktif, yang menghasilkan
terutama bahan-bahan aromatik. Beberapa tahun terakhir ini, sebagian besar zat
aromatik, terutama benzene, toluene, xilena, naftalena, dan metilnaftalena
didapat dari pengolahan minyak bumi. Dengan semakin majunya penerapan kenversi
batubara secara kimia, maka akan lebih banyak lagi jenis bahan kimia yang bisa
dibuat dari batubara.
Batubara merupakan cadangan bahan baku
yang mendapat perhatian terbesar didunia. Batubara juga merupakan sumber energi
yang murah untuk pemanasan maupun pembangkit tenaga yang diperlukan untuk suatu
proses. Oleh karena itu, pengolahan batubara yang baik diperlukan agar
penggunaan batubara sebagai sumber energi tidak merusak keseimbangan ekosistem
di bumi pertiwi ini.
1.2 Sejarah ditemukannya “Batubara”
Beberapa ahli sejarah meyakini bahwa
batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan
bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan
tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk
paling awal tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan ilmuwan Yunani
yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu. Abu batu bara
yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga menunjukkan
bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan
memberikan bukti pertama penambangan batu bara di Eropa, bahkan suatu perdagangan
internasional batu bara laut dari lapisan batu bara yang tersingkap di pantai
Inggris dikumpulkan dan
diekspor
ke Belgia. Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan
batubara amat mendesak. Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang
dipatenkan pada tahun 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu
bara. Oleh karena itu, riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat
dilepaskan dari sejarah Revolusi Industri, terutama terkait dengan produksi
besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Namun tingkat penggunaan batubara
sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan semakin meningkatnya
pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak menempati posisi paling
atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara. Meskipun demikian,
bukan berarti bahwa batubara akhirnya tidak berperan sama sekali sebagai salah
satu sumber energi primer.
Krisis minyak pada tahun 1973
menyadarkan banyak pihak bahwa ketergantungan yang berlebihan pada salah satu sumber
energi primer, dalam hal ini minyak, akan menyulitkan upaya pemenuhan pasokan
energi yang kontinyu. Selain itu, labilnya kondisi keamanan di Timur Tengah
yang merupakan produsen minyak terbesar juga sangat berpengaruh pada fluktuasi harga
maupun stabilitas pasokan (Iptek, 2013)
1.3 Pengertian
Batubara
Istilah batubara merupakan hasil
terjemahan dari “coal”. Disebut batubara mungkin karena dapat terbakar seperti
halnya arang kayu. Batubara adalah batuan sedimen yang secara kimia dan fisika
adalah heterogen dan mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen
sebagai unsur utama dan belerang serta nitrogen sebagai unsur tambahan. Zat
lain, yaitu senyawa organik pembentuk “ash” tersebar sebagai partikel zat
mineral dan terpisah-pisah di seluruh senyawa batubara. Beberapa jenis batu
meleleh dan menjadi plastis apabila dipanaskan, tetapi meninggalkan residu yang
disebut kokas. Batubara dapat dibakar untuk membangkitkan uap atau
dikarbonisasikan untuk membuat bahan bakar cair atau dihidrogenisasikan untuk
membuat metan. Gas sintetis atau bahan bakar berupa gas dapat diproduksi
sebagai produk utama dengan jalan gasifikasi sempurna dari batubara dengan oksigen
dan uap atau udara dan uap (Permana : 2011).
Batubara awalnya merupakan bahan organik yang terakumulasi
dalam rawa-rawa yang dinamakan peat. Pembentukan batubara memerlukan
kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu sepanjang
sejarah geologi. Zaman karbon kira-kira 340 juta tahun yang lalu (Jtl) adalah
masa pembentukan Batubara yang paling produktif (Arief : 2012).
1.4 Materi pembentuk batu bara
Hampir
seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan
pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah sebagai berikut:
·
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel
tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
·
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan
dari alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
·
Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama pembentuk
batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara. Tetumbuhan tanpa bunga dan biji,
berkembang biak dengan spora dan tumbuh di iklim hangat.
·
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur Tengah.
Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal pinus, mengandung
kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti gangamopteris dan
glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
·
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan modern,
buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga, kurang bergetah
dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang dapat terawetkan
(Wikipedia,
2013).
1.5 Klasifikasi
Batubara
Klasifikasi batu bara berdasarkan tingkat pembatubaraan
biasanya dimaksudkan untuk menentukan tujuan pemanfaatannya. Misalnya, batu
bara bintuminus banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik, pada
industri baja atau genteng serta industri semen (batu bara termal atau steam
coal). Adapun batu bara antrasit digunakan untuk proses sintering bijih
mineral, proses pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk
pembuatan briket tanpa asap.
Tipe batu bara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
·
Lignite :
Disebut juga batu bara muda. Merupakan
tingkat terendah dari batu bara, berupa batu bara yang sangat lunak dan
mengandung air 70% dari beratnya. Batu bara ini berwarna hitam, sangat rapuh,
nilai kalor rendah dengan kandungan karbon yang sangat sedikit, kandungan abu
dan sulfur yang banyak. Batu bara jenis ini dijual secara eksklusif sebagai
bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
·
Sub-Bituminous :
Karakteristiknya berada di antara batu bara lignite dan
bituminous, terutama digunakan sebagai bahan bakar untuk PLTU. Sub-bituminous
coal mengandung sedikit carbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang tidak efisien.
·
Bituminous :
Batu bara yang tebal, biasanya berwarna hitam mengkilat,
terkadang cokelat tua. Bituminous coal mengandung 86% karbon dari
beratnya dengan kandungan abu dan sulfur yang sedikit. Umumnya dipakai untuk
PLTU, tapi dalam jumlah besar juga dipakai untuk pemanas dan aplikasi sumber
tenaga dalam industri dengan membentuknya menjadi kokas-residu karbon berbentuk
padat.
·
Anthracite
Peringkat teratas batu bara, biasanya dipakai untuk bahan
pemanas ruangan di rumah dan perkantoran. Anthracite coal berbentuk padat
(dense), batu-keras dengan warna jet-black berkilauan (luster) metallic,
mengandung antara 86% – 98% karbon dari beratnya, terbakar lambat, dengan batasan
nyala api biru (pale blue flame) dengan sedikit sekali asap.
(Ratna,
2010).
1.6 Sifat-Sifat
Batubara
Berdasarkan klasifikasi batubara yang
telah disebutkan diatas, ternyata setiap jenis batubara memiliki sifat-sifat
yang berbeda pula. Berikut ini, merupakan sifat-sifat batubara menurut
jenisnya:
·
Sifat batubara jenis anthracite
:
1.
Warna hitam sangat mengkilat dan
kompak.
2.
Nilai kalor sangat tinggi,
kandungan karbon sangat tinggi.
3.
Kandungan air sangat sedikit.
4.
Kandungan abu sangat sedikit.
5.
Kandungan sulfur sangat sedikit.
·
Sifat batubara jenis bituminous / subbituminous :
1.
Warna hitam mengkilat, kurang
kompak.
2.
Nilai kalor tinggi, kandungan
karbon relatif tinggi.
3.
Kandungan air sedikit.
4.
Kandungan abu sedikit.
5.
Kandungan sulfur sedikit.
·
Sifat batubara jenis lignit (brown coal) :
1.
Warna hitam, sangat rapuh.
2.
Nilai kalor rendah, kandungan
karbon sedikit.
3.
Kandungan air tinggi.
4.
Kandungan abu banyak.
5.
Kandungan sulfur banyak.
(Sheila,
2010).
Ada beberapa sifat batubara yang harus
diperhatikan ketika memilih batubara untuk suatu kegiatan produksi, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Kadar sulfur
Kadar
sulfur adalah salah satu elemen pembakaran dalam batubara dan menghasilkan
energi, hasil pembakaran utama yaitu sulfur dioksida (SO2), adalah
bahan polutan utama bagi atmosfer.
2.
Karakteristik
pembakaran
Batubara haruslah yang bersifat dapat
terbakar bebas, bila batubara akan dibakar pada tempat yang stasioner dengan
pergerakan kecil.
3.
Daya tahan terhadap
cuaca
Daya
tahan terhadap cuaca dari suatu batubara adalah suatu ukuran tentang kemampuan
batubara tetap berada dalam keadaan terbuka unsur-unsur lingkungan tanpa
mengalami pecah-pecah yang berlebihan. Semua pembangkit besar yang menggunakan
bahan bakar batubara, biasanya menyimpan cadangan batubara dalam tumpukan besar
di dekat pusat pembangkit tersebut.
4.
Temperatur pelunakan
abu
Temperatur
pelunakan abu adalah suatu pertimbangan penting pula dalam pemilihan batubara
untuk suatu sistem pembangkit tertentu. Temperatur pelunakan abu adalah temperatur
dimana abu menjadi sangat plastis, beberapa derajat di bawah titik lebur abu.
5.
Kemampuan untuk digerinda
Sifat
penting lainnya yang harus diperhatikan ketika memilih batubara untuk suatu
pusat pembangkit ialah indeks dapat digerindanya. Hal ini khususnya berlaku
untuk sistem-sistem tenaga yang menggunakan serbuk batubara dimana batubara
digerinda menjadi serbuk tepung yang
sangat halus.
6.
Kandungan energi
batubara
Kadar
energi atau nilai pembakaran batubara adalah sifat yang sangat penting. Nilai
pembakaran menunjukkan jumlah energi kimia yang terdapat dalam suatu massa
bahan bakar.
BAB II
ISI
Integrated Coal Gasification
Combined Cycle
Teknologi IGCC
merupakan merupakan salah satu teknologi batubara bersih yang sekarang dalam
tahap pengembangan. Istilah IGCC ini merupakan istilah yang paling banyak
digunakan untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi batubara terintegrasi.
Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ICGCC (Integrated
Coal Gasification Combined Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined
Cycle) yang sama artinya.
Komponen utama
dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi batubara. Gasifikasi
batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan batubara menjadi gas
yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam reaktor
gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah diproses secara
fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses pemanasan sampai
temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi bara api). Kecuali
bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen dikonversikan menjadi
hidrogen, karbon monoksida dan methana. Proses gasifikasi batubara berdasarkan
sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat macam yaitu : fixed bed,
fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath.
Dalam fixed bed,
serbuk batubara yang berukuran antara 3 – 30 mm diumpankan dari atas reaktor
dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari
bawah berlawanan dengan masukan serbuk batubara akan bereaksi membentuk gas.
Reaktor tipe ini dalam prakteknya mempunyai beberapa modifikasi diantaranya
adalah proses Lurgi, British Gas dan KILnGas.
Sedangkan proses yang menggunakan prinsip fluidized bed adalah High-Temperature
Winkler, Kellog Rust Westinghouse, dan U-gas.
Dalam fluidized bed gaya dorong dari uap dan O2
akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga serbuk batubara dalam keadaan
mengambang pada saat terjadi proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan
lebih halus dan berukuran antara 1 – 5 mm. Dalam entrained flow serbuk
batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2 sebelum
diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah digunakan untuk memproduksi gas
sintetis dengan nama proses Koppers-Totzek. Proses yang sejenis
kemudian muncul seperti proses PRENFLO,Shell, Texaco ,
dan DOW. Proses molten iron bath merupakan
pengembangan dalam proses industri baja. Serbuk batubara diumpankan ke dalam
reaktor bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron
bath semua proses telah digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Saat ini
teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh dunia, seperti : Jepang, Belanda,
Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi yang terus mengalami
perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan. Temperatur masukan
gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan ini dapat dicapai
dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem pendinginnya.
IGCC merupakan
perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas hasil
gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen. Sulfur
yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3
lebih mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida
dalam gas buang. Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang
sudah bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran
disalurkan ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari
turbin gas dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam
Generator) untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas)
digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk
menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator.
Pada proses pembuatan metanol dari batubara, menggunakan reaktor
Fluidized Bed karena memiliki keunggulan yaitu:
1.
Mampu memproses
bahan baku berkualitas rendah,
2.
Kontak antara padatan dan gas bagus,
3.
Luas permukaan reaksi besar sehingga reaksi dapat
berlangsung dengan cepat,
4.
Efisiensi tinggi, dan
5.
Emisi rendah.
Reaksi
yang terjadi pada Fluidized Bed umumnya terdiri dari empat proses,
yaitu pengeringan, pirolisis, oksidasi, dan reduksi. Pada gasifier jenis ini,
kontak yang terjadi saat pencampuran antara gas dan padatan sangat kuat
sehingga perbedaan zona pengeringan, pirolisis, oksidasi, dan reduksi tidak
dapat dibedakan. Salah satu cara untuk mengetahui proses yang berlangsung pada
gasifier jenis ini adalah dengan mengetahui rentang temperatur masing-masing
proses, yaitu:
- Pengeringan: T > 150 °C
- Pirolisis/Devolatilisasi: 150
< T < 700 °C
- Oksidasi: 700 < T < 1500
°C
- Reduksi: 800 < T < 1000
°C
Proses pengeringan, pirolisis, dan
reduksi bersifat menyerap panas (endotermik), sedangkan proses oksidasi
bersifat melepas panas (eksotermik). Pada pengeringan, kandungan air pada bahan
bakar padat diuapkan oleh panas yang diserap dari proses oksidasi. Pada
pirolisis, pemisahan volatile matters (uap air, cairan organik, dan
gas yang tidak terkondensasi) dari arang atau padatan karbon bahan bakar juga menggunakan
panas yang diserap dari proses oksidasi. Pembakaran mengoksidasi kandungan
karbon dan hidrogen yang terdapat pada bahan bakar dengan reaksi eksotermik,
sedangkan gasifikasi mereduksi hasil pembakaran menjadi gas bakar dengan reaksi
endotermik. Penjelasan lebih lanjut mengenai proses-proses tersebut disampaikan
pada uraian berikut ini.
Pirolisis
Pirolisis atau devolatilisasi
disebut juga sebagai gasifikasi parsial. Suatu rangkaian proses fisik dan kimia
terjadi selama proses pirolisis yang dimulai secara lambat pada T < 350 °C
dan terjadi secara cepat pada T > 700 °C. Komposisi produk yang tersusun
merupakan fungsi temperatur, tekanan, dan komposisi gas selama pirolisis
berlangsung. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 °C, ketika komponen
yang tidak stabil secara termal, seperti lignin pada biomassa dan volatile
matters pada batubara, pecah dan menguap bersamaan dengan komponen
lainnya. Produk cair yang menguap mengandung tar dan PAH (polyaromatic
hydrocarbon). Produk pirolisis umumnya terdiri dari tiga jenis, yaitu gas
ringan (H2, CO, CO2, H2O, dan CH4),
tar, dan arang.
Oksidasi (Pembakaran)
Oksidasi atau pembakaran arang
merupakan reaksi terpenting yang terjadi di dalam gasifier. Proses ini
menyediakan seluruh energi panas yang dibutuhkan pada reaksi endotermik.
Oksigen yang dipasok ke dalam gasifier bereaksi dengan substansi yang mudah
terbakar. Hasil reaksi tersebut adalah CO2 dan H2O yang
secara berurutan direduksi ketika kontak dengan arang yang diproduksi pada
pirolisis. Reaksi yang terjadi pada proses pembakaran adalah:
C + O2 -> CO2 + 393.77 kJ/mol
karbon
Reaksi pembakaran lain yang berlangsung adalah oksidasi hidrogen yang terkandung dalam bahan bakar membentuk kukus. Reaksi yang terjadi adalah:
H2 + ½ O2 -> H2O + 742
kJ/mol H2
Reduksi (Gasifikasi)
Reduksi atau gasifikasi melibatkan
suatu rangkaian reaksi endotermik yang disokong oleh panas yang diproduksi dari
reaksi pembakaran. Produk yang dihasilkan pada proses ini adalah gas bakar,
seperti H2, CO, dan CH4. Reaksi berikut ini merupakan
empat reaksi yang umum telibat pada gasifikasi.
- Water-gas
reaction
Water-gas reaction merupakan reaksi oksidasi parsial karbon oleh kukus yang dapat berasal dari bahan bakar padat itu sendiri (hasil pirolisis) maupun dari sumber yang berbeda, seperti uap air yang dicampur dengan udara dan uap yang diproduksi dari penguapan air. Reaksi yang terjadi pada water-gas reaction adalah:
C
+ H2O -> H2 + CO – 131.38 kJ/kg mol karbon
Pada beberapa gasifier, kukus dipasok sebagai medium penggasifikasi dengan atau tanpa udara/oksigen.
- Boudouard
reaction
Boudouard reaction merupakan reaksi
antara karbondioksida yang terdapat di dalam gasifier dengan arang untuk
menghasilkan CO. Reaksi yang terjadi
pada Boudouard reaction adalah:
CO2
+ C -> 2CO – 172.58 kJ/mol karbon
- Shift
conversion
Shift conversion merupakan reaksi
reduksi karbonmonoksida oleh kukus untuk memproduksi hidrogen. Reaksi ini
dikenal sebagai water-gas shift yang menghasilkan peningkatan perbandingan
hidrogen terhadap karbonmonoksida pada gas produser. Reaksi ini digunakan pada
pembuatan gas sintetik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CO
+ H2O -> CO2 + H2 – 41.98 kJ/mol
- Methanation
Methanation merupakan reaksi pembentukan gas metan. Reaksi yang terjadi pada methanation adalah:
C
+ 2H2 -> CH4 + 74.90 kJ/mol karbon
Pembentukan metan dipilih terutama ketika produk gasifikasi akan digunakan sebagai bahan baku indutri kimia. Reaksi ini juga dipilih pada aplikasi IGCC (Integrated Gasification Combined-Cycle) yang mengacu pada nilai kalor metan yang tinggi. . Batubara muda merupakan alternatif yang baik terutama batubara muda yang mempunya kandungan air hingga 35%, yang tidak ekonomis untuk diangkut dan diperdagangkan. Batubara keberadaannya hampir merata dibanding dengan sumber minyak bumi. Gas metan memang lebih mudah untuk dipergunakan pada proses FT, namun gas ini telah mempunyai harga mahal. Bahkan gas ini dapat pula diproduksi dari batu bara dengan proses FT memerlukan biaya 3-3,5 USD per MMBtu, bandingkan dengan harga gas alam jenis yang sama mempunyai harga bisa dua kali lipat.
Diagram
Kualitatif Flow Diagram Process Pembuatan Metanol dengan Gasifikasi Batubar
Pertama batubara masuk
sebagai aliran 1 dengan kondisi temperatur 30°C, dan tekanan 1 atm ke dalam
Hopper (F-111). Di Hopper terdapat WC (Weight Control), keluar sebagai aliran
2, pada kondisi temperatur 30°C dan tekanan 1 atm. Kemudian masuk ke Reaktor Fluidized Bed (R-110), reaktor fluidized
bed adalah jenis reaktor kimia yang dapat digunakan untuk mereaksikan bahan
dalam keadaan banyak fase. Reaktor jenis ini menggunakan fluida (cairan atau
gas) yang dialirkan melalui katalis padatan (biasanya berbentuk butiran-butiran
kecil) dengan kecepatan yang cukup sehingga katalis akan tertolak sedemikian
rupa dan akhirnya katalis tersebut dapat di analogikan sebagai fluida juga.
Proses ini, dinamakan fluidisasi. ketika di
Reaktor terdapat Pressure Control, kemudian dinaikkan tekanannya menjadi 18 atm dan temperaturnya naik menjadi
760°C sebagai aliran ke-7.
Disini bahan lain
selain batubara adalah udara, udara masuk sebagai aliran ke-3 dengan kondisi T
= 29°C dan P = 1 atm, di flow ini ada FC untuk mengontrolnya kemudian bahan ini
masuk ke Kompresor (G-113), bahan ini sebagai aliran ke-5 dengan T = 29°C dan P
= 9,5 atm. Lalu masuk ke Furnace (Q-114) yang bertugas untuk memanaskan udara, udara yang telah dipanaskan
keluar sebagai aliran ke-6 dengan T = 760°C dan P = 18 atm kemudian udara masuk bercampur ke
Reaktor Fluidized Bed (R-110) dengan umpan Batubara awal tadi.
Keluar
dari Reaktor, bahan masuk ke Siklon (H-115) dan keluar sebagai aliran ke-8
dengan temperatur 760°C dan tekanan 18 atm. Kemudian masuk ke Expander (G-116),
ada PC disini, fungsi dari expander sendiri adalah untuk menurunkan tekanan
jadi bahan tadi keluar sebagai aliran ke-9 dengan temperatur 759,7°C dan
tekanan 10,2 atm. Masuk ke Cooler (E-117) ada TC disini, sebagai aliran ke-10,
dengan T = 400°C dan P = 10,2 atm. Kemudian masuk ke Absorber S
(D-210) ada PC disini dan masuk ke Expander (G-211) sebagai aliran ke-12 dengan
T = 395,5°C dan P = 10,2 atm. Masuk ke Cooler (G-212) , seharusnya kode ini
adalah (E-212), disini ada TC dan bahan keluar sebagai aliran ke-13 dengan T =
70°C dan P = 6,5 atm, setelah keluar ada FC.
Masuk
ke Absorber (D-220), ada PC disini dan kemudian terdapat 2
aliran yaitu aliran yang masih bisa digunakan dan aliran sisa. Aliran sisa akan
bertindak sebagai aliran ke-25 dan T = 115°C dan P = 6,5 atm dan masuk ke
Tangki Gas Buang (F-223). Kemudian aliran yang masih bisa digunakan masuk
sebagai aliran ke-14 dan T = 115°C dan P = 6,5 atm. Bahan diteruskan ke
Expander (G-221) dan ke Cooler (E-222), bahan ini sebagai aliran ke-16 dan T =
115°C dan P = 1,1 atm ada TC disini untuk mengatur temperatur, keluar dari TC
sebagai aliran ke-15, T = 114,8°C dan P = 1,1 atm, disini ada FC untuk mengatur
Flownya bahan kemudian masuk ke Stripper (D-230).
Ada
sisa bahan yang masuk ke Tangki Benlield (F-231) dengan T = 37°C dan P = 1,1
atm. Sisa bahan lain masuk sebagai aliran ke-17 dengan T = 119,4°C dan P = 1,1
atm ke Expander (G-232). Keluar dari Expander sebagai aliran ke-18 dan T =
114,4°C dan P = 2,9 atm kemudian diteruskan ke Cooler (E-233) disini ada TC,
keluar dari Cooler masuk ke Tangki Hidrogen (F-311) sebagai aliran ke-21 dengan
T = -15°C dan P = 20 atm, masuk ke Cooler (E-312) untuk mendinginkan bahan.
Kemudian bahan dari Cooler ini akan satu aliran dengan bahan dari Cooler
(E-233). Disini terdapat FC untuk mengatur Flow bahan yang tergabung tadi, jadi
aliran ini bertindak sebagai aliran ke-22, T =
259,7°C dan P = 1,1 atm.
Setelah
itu bahan masuk ke Reaktor Fixed Bed (R-310),
Reaktor Fixed Bed merupakan
suatu reaktor yang mana katalis berdiam di dalam reaktor bed. Di Reaktor Fixed
Bed, ada TC di Reaktor ini, ketika bahan
keluar dari reaktor ada PC, jadi aliran ini sebagai aliran ke-24, dengan T =
259,7°C dan P = 3 atm. Di reaktor fixed
bed, terjadi pengolaha kemudian masuk ke
Cooler (E-313) dan ada TC disini. Kemudian masuk ke Menara Distilasi (D-320),
Menara Distilasi ini bertingkat 14, aliran yang masuk sebagai aliran ke-26
dengan T = 259,7°C dan P = 3 atm. Sisa keluar dari Distilasi ada LC, ini
sebagai aliran ke-33 dengan T = 259,7°C dan P = 3 atm, kemudian masuk ke
Reboiler (E-324) dengan bertindak sebagai aliran ke-32 dan T = 259,7°C dan P =
3 atm. Hasil dari Reboiler masuk kembali ke Distilasi.
Keluar
dari Distilasi ada PC untuk mengontrol tekanan, disini aliran ke-29 dengan T =
259,7°C dan P = 3 atm masuk ke Kondensor (E-321) sebagai aliran ke-28 dan T =
259,7°C dan P = 3 atm. Kemudian masuk ke Tangki Distilat (F-322) sebagai aliran
ke-27, T = 259,7°C dan P = 3 atm, lalu masuk ke Pompa (L-323) sebagai aliran
ke-30, T = 259,7°C, P = 3 atm. Bahan di aliran ini bisa masuk lagi ke dalam
Distilasi. Dari Tangki Distilat, bahan sebagai aliran ke-31, T = 259,7°C, P = 3
atm kemudian masuk ke Kondensor (E-325) disini ada TC, bahan ini sebagai aliran
ke-34, T = 259,7°C dan P = 3 atm. Setelah ini adalah hasil akhir yaitu Metanol,
metanol ini kemudian akan dimasukkan ke dalam Tangki Metanol (F-326) di tangki
ini ada LI (Level Indicator).
Prosesnya dimulai
dengan membuat gas sintetis yaitu gas H2 atau hidrogen dan gas CO
atau karbon monoksida. Gas H2 mudah terbakar dan gas CO sangat
beracun, tapi tidak perlu khawatir karena semuanya dikontrol dalam bejana
tertutup.
Pembuatan gas
diawali dengan membakar batubara dengan gas oksigen bukan udara supaya lebih
efisien. Batu bara akan membara berwarna merah kemudian dimasukkan uap air,
jika mulai padam dialirkan lagi oksigen dan seterusnya. Maka akan dihasilkan
campuran gas yang kemudian dimurnikan seperti terjadi di banyak industri kimia.
Selanjutnya diperoleh syngas yaitu H2 dan CO yang siap direaksikan
menjadi molekul yang lebih tinggi dan banyak dibutuhkan.
Syngas Production –
Bagian ini terdiri dari coal handling, drying dan grinding yang kemudian
diikuti dengan gasifikasi. Unit pemisahan udara menyediakan oksigen untuk
gasifier. Syngas cleanup terdiri dari proses hydrolysis, cooling, sour-water
stripping, acid gas removal, dan sulfur recovery. Gas dibersihkan dari komponen
sulfur dan komponen lain yang tidak diinginkan sampai pada level yang terendah
untuk melindunginya dari downstream katalis. Proses sour-water stripping akan
menghilangkan ammonia yang dihasilkan dari nitrogen yang ada pada batubara.
Sulfur dalam batubara akan dikonversikan menjadi hydrogen sulfide (H2S)
dan carbonyl sulfide (COS). Proses hidrolisis digunakan untuk mengkonversikan
COS dalam syngas menjadi H2S.
Konversi gas
sintetik – Bagian ini terdiri dari water-gas shift, a sulfur guard bed,
synthesis-gas conversion reactors, CO2 removal, dehydration dan
compression, hydrocarbon dan hydrogen recovery, autothermal reforming, dan
syngas recycle. A sulfur guard bed dibutuhkan untuk melindungi katalis konversi
gas sintesis yang dengan mudah diracuni oleh trace sulfur pada cleaned syngas.
Clean synthesis gas dipindahkan untuk mendapatkan hydrogen/carbon monoxide
ratio yang diinginkan, dan kemudian secara katalitik dikonversikan menjadi
bahan bakar gas.
Dalam proses
selanjutnya, menggunakan sintesis Fischer-Tropsch yang merupakan teknologi
untuk memproduksi bahan bakar murni dari gas sintesis hasil gasifikasi
biomassa, gas alam, atau batubara. Reaksi sintesis Fischer-Tropsch merupakan
reaksi katalitik. Katalis komersial Fischer-Tropsch sendiri umumnya berbasis
logam Fe dan Co.
Katalis yang
digunakan dalam Fischer-Trops adalah besi atau cobalt. Keuntungan katalist besi
dengan cobalt berlebih untuk mengkonversi coal-derived syngas yang mana besi
memiliki kemampuan mengaktivasi reaksi water-gas shift dan secara internal
mengatur rasio low H2/CO dari coal derived syngas yang diperlukan
dalam reaksi Fischer-Trops. Syngas dan produk F-T yang tidak terkonversi harus
dipisahkan setelah langkah sintesis F-T. CO2 dipisahkan
dengan menggunakan teknik absorbsi. CO2 dengan kemurnian tinggi
biasanya dibuang langsung ke udara bebas.
Proses pendinginan
digunakan untuk memisahkan air dan hidrokarbon ringan (terutama metana, etana,
dan propane) dari produk liquid hydrocarbon yang dihasilkan pada proses
sintesis F-T. Hasil dari metana di olah kembali menjadi metanol dan akhirnya
akan di simpan di dalam tangki penyimpanan metanol.
Makalah ini masih tidak lah sempurna di sebabkan oleh beberapa hal. Pertama karena makalah ini menggunakan referensi berupa prarancangan. Sehingga ada beberapa hal yang sulit di jelaskan. Selain itu isi makalah ini hanya saya buat dalam 1 malam jadi bisa di bilang agak terburu-buru dalam pembuatannya. Jadi bila ada hal yang masih belum jelas/ada yang harus di koreksi di makalah ini bisa coment langsung aja. Terima kasih.
@@.
BalasHapus